Hingga sekarang, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan yang terbesar di Negara Indonesia. Warga NU jumlahnya mencapai lebih dari separo dari jumlah penduduk Indonesia. Eksistensinya sangat penting dan berpengaruh besar terhadap sejarah bangsa. Sebagai sebuah organisasi islam yang juga terbesar di dunia, tentu tanggung jawab yang diemban NU juga amat besar. Sejak kelahirannya tahun 1926, di setiap momentum perubahan NU hampir selalu mampu menampilkan sikap politik yang cerdas dan menyejukkan bagi masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, pilihan sikap politik NU terbukti tidak hanya sekedar berorientasi melindungi para pemimpin dan warganya dari proses degradasi dan demoralisasi politik, tetapi juga semata-mata untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari berbagai bentuk ancaman.

Politik kebangsaan merupakan pilihan gerakan pengabdian NU kepada bangsa Indonesia. Pilihan gerakan tersebut berakar dari garis perjuangan (Khittah) NU 1926. Khittah NU memberikan mandat kepada NU untuk meninggalkan keterlibatannya dalam politik praktis dan mengharuskannya terlibat secara aktif dalam proses pengembangan agama, pendidikan dan pemberdayaan ekonomi umat. Jargon kembali ke khittah 1926, sebagaimana yang diproklamirkan pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo bukanlah merupakan pelarian NU dari politik apalagi untuk menutupi ambisi kekuasaan. Rasionalitas dari pilihan ini adalah ikhtiar untuk membingkai pengabdian NU kepada Bangsa Indonesia agar tidak ternodai oleh kepentingan politik praktis yang justru berlawanan dengan ruh organisasi.

Keberadaan NU dengan anggota yang jumlahnya anggotanya yang besar menempatkannya sebagai organisasi yang selalu rentan terlibat dalam pertarungan politik dan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat di era awal kemerdekaan, ketika NU bersama organisasi islam lainnya memilih bergabung dalam Federasi Masyumi pada tanggal 7 November 1945. Meskipun kemudian pada tanggal 3 Juli 1952, NU secara resmi keluar dari Masyumi. Pemikiran tentang keluarnya NU dari Masyumi mengemuka sejak Muktamar ke 18 tahun 1950 di Jakarta. Salah satu keputusan muktamar ini yang menggemparkan adalah NU keluar dari Masyumi, dari sinilah mulai muncul embrio-embrio politik para kader NU untuk memainkan peran politik.

Alasan keluarnya NU dari Masyumi lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan visi dan misi dalam membangun bangsa. Alasan ini diperkuat dengan faktor tidak terakomodasinya kepentingan-kepentingan NU di Masyumi. Tokoh revolusioner sekaligus ulama besar yang juga salah satu Pendiri NU, KH Abdul Wahab Chasbullah memaknai posisi NU di Masyumi hanya menjadi kuda tunggangan (Ukhuwah Kusiriyah). Pada masa inilah NU terjun di panggung politik praktis. Bersamaan dengan keluarnya dari Federasi Masyumi, NU menjadi partai politik sejak 1952. Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilu pertama dengan payung UU Nomor 7 tahun 1953. Partai NU menjadi kontestan pemilu bersama partai politik lainnya. Hasil dari pemilu 1955 menunjukkan, NU masuk zona 5 besar perolehan suara Partai Politik, PNI (22,32%), Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%), dan PSII (2,89%).

Pada era Orde Baru, adanya kebijakan Fusi Partai dari pemerintah Soeharto tidak mengendurkan semangat NU terlibat dalam politik. NU melebur ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan), terhitung  sejak 5 Januari 1973. NU betul-betul meninggalkan panggung politik praktis terhitung sejak Muktamar ke 27 tahun 1984 di Situbondo. Pada masa ini Muktamarin berhasil memformulasikan garis-garis perjuangan NU yang sudah lama ada ke dalam formulasi yang kemudian dikenal sebagai “Khittah NU”. Kata khittah telah umum dipakai, tidak hanya sebatas komunitas NU. Penggunaan maknanya mengacu pada prinsip, dasar ataupun pokok, seperti penggunaan Khittah 1926.  Kata “khittah 26” ini merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926 adalah sebagai gerakan sosial-keagamaan (Jam’iyyah Ad-Diniyah wal Ijtima’iyah).

Pengalaman berikutnya adalah pada era reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto lengser akibat desakan gerakan reformasi yang kuat, mulai gerakan diskusi ilmiah, unjuk rasa, unjuk keprihatinan, sampai istighosah, dan lain sebagainya. Sehari setelah peristiwa bersejarah itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai kebanjiran usulan dari warga NU di seluruh pelosok Tanah Air yang pada intinya mendorong PBNU supaya mendirikan Parpol sebagai wadah aspirasi politik warga NU. Dalam menyikapi usulan yang masuk dari masyarakat Nahdliyin, PBNU menanggapinya secara hati-hati. Hal ini didasarkan pada adanya kenyataan bahwa hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo yang menetapkan bahwa NU kembali ke Khittah. Artinya secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. Namun demikian, setelah melalui mekanisme kajian dan musyawarah serta konsultasi dengan beberapa kyai sepuh akhirnya NU pada tanggal 23 Juli 1998 (29 Rabi’ul Awal 1419 Hijriyah) mendeklarasikan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Kerentanan NU terhadap proses politik dan demokrasi prosedural terus berlanjut hingga sekarang khususnya pada momentum-momentum electoral, baik pada konteks National Electoral (Pemilu Nasional) maupun Local Electoral (Pemilu Lokal/Pemilihan Kepala Daerah). Pada level pemilu nasional, hal ini bisa disaksikan bagaimana keterlibatan petinggi PBNU pada kontestasi Pemilu Presiden tahun 2004. Hingga kedekatan para petinggi NU dengan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres 2009 dan 2014. Pada level pemilu lokal, banyak pengurus wilayah dan pengurus cabang NU mencalonkan diri atau terlibat secara langsung dalam kegiatan dukung mendukung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang era Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung.

Kalimat “biarlah politik praktis menjadi ladang garapan partai politik (Parpol)” agaknya cukup berat untuk dihindari oleh NU. Jika performance organisasi yang demikian tetap dibiarkan, maka identitas NU sebagai Jam’iyyah Ad-Diniyah wal Ijtima’iyah itu akan porak-poranda. Misi kerahmatan bagi seluruh alam yang menjadi tugas suci NU pasti akan tersendat dan akan berakibat pada terjadinya krisis kepercayaan (distrust)warga NU terhadap para pimpinan NU. Kembali ke Khittah sebagaimana yang diamanatkan oleh Muktamar NU ke 27 di Situbondo hanya menjadi kalimat tanpa makna, akibat semangat berpolitik praktis warga atau pengurus NU yang tidak dibarengi dengan pemahaman yang utuh tentang politik dan jati diri NU sendiri sebagaimana pernah didawuhkan oleh Almaghfurlah KH Idham Kholid.

Terhadap kondisi yang demikian, penulis berpandangan perlunya warga dan para petinggi NU di semua tingkatan membuka kembali hasil Muktamar NU XVIII di Krapayak Yogyakarta tahun 1989. Muktamar ini memutuskan adanya Pedoman Berpolitik Warga NU yang terdiri atas 9 butir, yaitu :

  1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;
  2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat;
  3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;
  4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
  5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama;
  6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah;
  7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;
  8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama;
  9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyatukan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Jika rumusan Khittah NU di Situbondo formulasinya dianggap sangat monumental karena menegaskan kembalinya NU sebagai Jam`iyah Ad-diniyah wal-Ijtima`iyah. Demikian halnya rumusan pedoman berpolitik, ini juga sangat monumental dan bahkan mendapat sambutan dan sanjungan yang luar biasa khususnya dari kalangan non-NU. Khittah NU dan pedoman berpolitik warga NU harus difahami sebagai satu kesatuan, agar tidak terjadi gagal faham. Jika Khittah NU merupakan matan, maka pedoman berpolitik warga NU adalah syarahnya.

Khittah NU mencakup pengertian Khittah NU, dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU, perilaku yang dibentuk oleh dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, ihtiar-ihtiar yang dilakukan NU, fungsi ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan NU dengan bangsa. Sementara itu, pedoman berpolitik warga NU berisi tentang prinsip-prinsip ajaran islam Ahlussunnah Waljama’ah, prinsip Ideologi Pancasila, Nasionalisme, Demokrasi dan Governance serta Kemaslahatan. Sehingga, sesungguhnya keduanya merupakan rumusan yang sangat indah, sempurna dan sejalan dengan perkembangan teori politik dan administrasi mutkhir. Hebatnya, semua rumusan tersebut diproduksi oleh para kyai ulama-ulama pesantren yang notabenenya tidak pernah pernah belajar di lingkungan pendidikan formal.

Sayangnya dua karya besar ulama-ulama sepuh NU tersebut kurang mendapatkan tempat dalam alam pikiran politik warga NU sendiri. Menurut KH Musthofa Bisri “jangankan memahaminya secara mendalam, sekedar membacanya saja seolah-olah enggan dan malas”. Akibatnya, kecenderungan perilaku politik warga NU yang terjun di politik praktis tak bisa dibedakan dari yang lain, perilaku politik mereka yang tidak memiliki khittah dan pedoman berpolitik. Penting kiranya jajaran pejabat struktural NU mengaktualisasikan kembali spirit Khittah NU dan pedoman berpolitik warga NU dalam kinerja kelembagaan NU secara ideal dan proporsional. Mengacu pada Khittah NU dan pedoman berpolitik warga NU, setidaknya ada beberapa hal mendasar yang harus dipahami oleh seluruh warga NU khususnya dan warga masyarakat pada umumnya ;

Pertama, jajaran Mustasyar dan Syuriah (ulama) NU berfungsi sebagai rantai pembawa paham Islam Ahlussunnah Waljama`ah. Tugas utamanya adalah melanjutkan perjuangan menegakkan misi kenabian (profetik). Dalam konteks ini ulama ditempatkan sebagai perumus kebijakan, pengawas, dan pembimbing utama kinerja organisasi. Fungsi ulama ini tidak dimaksudkan sebagai penghalang kreativitas, akan tetapi justru sebaliknya yaitu mengawal kreativitas para pengurus tanfidziyah selaku pelaksana kebijakan syuriah. Jika para ulama keluar dari medan perjuangan ini, lebih-lebih kata Imam Al-Ghozali menjadi cinta harta dan kedudukan (Hubbul Mal Wal Jah), maka dipastikan mur’uah (kehormatan diri) ulama akan hancur. Jika ini terjadi, maka rusaklah penguasa atau pemimpin suatu negeri. Dan jika penguasa atau pemimpin suatu negeri rusak, maka binasalah rakyatnya.

Kedua, jajaran Tanfidziyah (pelaksana) berfungsi sebagai pimpinan eksekutif yang melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah disepakati oleh Syuriah dan disetujui Mustasyar. Kewenangan yang melekat pada jajaran tanfidziyah meniscayakan berhubungan secara langsung dengan berbagai stakholders, baik itu pemerintah (government), swasta (private) dan kelompok masyarakat sipil (civil society). Di banyak kasus, dalam berbagai momentum politik tanfidziyah acap kali terjebak pada pola-pola pragmatis dan transaksional yang disadari atau tidak justru sudah keluar atau bertolak belakang dengan Khittah NU dan pedoman berpolitik warga NU.

Ketiga, kaderisasi dan uswah harus dikedepankan dalam rangka mempertahankan eksistensi NU di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kegagalan NU dalam berbagai momentum politik salah satunya disebabkan oleh kurang maksimalnya kaderisasi dalam organisasi dan kepemimpinan. Kegagalan yang dimaksud diukur dari seberapa besar kemampuan para kader NU yang terjun di panggung politik praktis mampu berjihad sesuai dengan Khittah NU dan pedoman berpolitik warga NU. Sehingga masih jarang ditemukan figur atau sosok pemimpin politik ideal yang dapat menjadi uswah bagi generasi selanjutanya atau masayarakat Indonesia dan dunia secara umum.

Dalam praktek selama ini masing sering kita temukan adanya tumpang tindih, jajaran pengurus syuriah rasa tanfidziyah dan atau sebaliknya. Fenomena ini tentu sangat tidak menyehatkan bagi NU, karenanya dibutuhkan kesadaran dan rasionalitas berfikir, bersikap dan berperilaku dari seluruh jajaran kepengurusan NU sesuai domainnya masing-masing. Selanjutnya, bertolak dari khittah NU dan pedoman berpolitik warga NU, kedua stakholders kunci di NU tersebut harus saling bersinergi dalam satu tujuan yakni kemaslahatan masyarakat, bangsa dan agama. Sederhananya, untuk masa-masa berikutnya keterlibatan dan peran serta NU dalam setiap momentum politik dan demokrasi baik di level nasional maupun lokal harus bersih dari praktek perebutan kepentingan sesaat yang bersifat transaksional dan cenderung merugikan jam’iyyah dan jamaah NU sendiri.

Petinggi NU harus menjunjung tinggi kepeloporan dan menjadi garda depan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakat; menjunjung tinggi kebersamaan masyarakat; menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan para ahlinya. Setiap warga NU diharapkan menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 45. Sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, masyarakat NU diminta senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan, tasamuh, kebersamaan dan hidup berdampingan di tengah realitas kemajemukan. Apabila performa politik kebangsaan NU dipertahankan demikian, ekspektasi kalangan Non-NU terhadap NU akan semakan bertambah kuat.

Walhasil, agar warga dan khususnya para petinggi NU sukses dalam mengawal perjuangan politik kebangsaan sebagaimana yang diamanatkan oleh Khittah NU maka wajib hukumnya butir-butir pedoman berpolitik warga NU dibaca dan difahami secara lahir dan batin. Agar segala ikhtiar politik kebangsaan yang dilakukan menjadi sebuah perbuatan yang bernilai ibadah dan membawa berkah fiddunya walakhiroh. Jika orang awam terhadap NU tidak membacanya masih pantas dimaklumi, karena mungkin mereka belum terbiasa dengan budaya baca atau mengetahui hasanah NU. sebaliknya, jika ada petinggi NU yang sangat bersemangat berpolitik tetapi tidak membaca pedoman berpolitiknya sendiri maka derajatnya sama dengan petinggi NU yang berpolitik tidak di atas Khittahnya. Bilamana terjadi demikian, maka warga NU salah memilih pemimpin organisasinya sendiri. Artinya, petinggi NU tersebut ternyata adalah mereka yang awam tentang NU atau awam tentang politik, atau awam tentang keduanya. Atau memang kepentingan dunia terlalu perkasa untuk dilawannya?  Wallohu A’lam

 

Oleh : Mohammad Fatah Masrun (Wakil Ketua PCNU Tulungagung)