Dalam proses belajar mengajar, secara umum seorang guru mengharap dalam setiap panjatan doanya, seluruh santri atau muridnya bisa menjadi orang yang pinter, cerdas (‘alim) dan memiliki kepribadian yang mulia (akhlakul karimah). Akan tetapi, harapan tersebut boleh jadi dalam beberapa kasus tidak bisa terwujud, bahkan terkadang terjadi hal yang sebaliknya. Diantara sekian banyak santri yang menjadi anak didiknya, ada beberapa yang mungkin perilaku dan profesinya keluar jauh dari ekspektasi sang guru. Hanya ada beberapa saja yang menjadi orang ‘alim dan bisa menjadi guru bagi masyarakat disekitarnya.

Pimpinan dalam sebuah organisasi sosial terkadang menghadapi situasi yang sama. Program kaderisasi organisasi bagi anggota dijalankan oleh pimpinan secara tertib, sistematis dan berkelanjutan (sustainble). Setiap jenjang kaderisasi diikuti oleh peserta dengan jumlah kuota sesuai ketentuan. Namun, apa yang terjadi pasca kaderisasi dijalankan, performance organisasi tetap tidak banyak mengalami perubahan, akselerasinya tetap lamban, produktifitasnya rendah, solidaritasnya horizontalnya lemah dan seterusnya. Alhasil, ternyata program kaderisasi terhadap sekian banyak anggota tersebut belum melahirkan produk-produk kader militan guna mendorong peningkatan kinerja organisasi sebagaimana yang diharapkan pimpinan.

Terhadap ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan itu, seorang guru atau pimpinan berpotensi akan mengalami kegalauan yang amat hebat. Alam pikirnya kacau, hatinya resah, gelisah, dan bahkan hingga berakibat munculnya sikap putus asa. Belum lagi jika situasinya diperparah dengan adanya murid atau anggota yang menurut parameter sang guru atau pimpinan itu keluar dari koridornya (haq). Lantas bagaimana sikap yang tepat, benar dan bijak yang harus diambil oleh seorang guru atau pimpinan menghadapi situasi demikian.

Seorang guru atau pimpinan tidak boleh larut dalam kegalauan yang panjang. Guru dan pimpinan harus tetap bersikap arif, bijaksana dan sabar. Performa guru dan pimpinan harus selalu perfect, menginpirasi dan terjaga muruahnya. Oleh karenanya, seorang guru dan pimpinan dituntut harus cermat membaca dan mengenali situasi kondisi maupun psikologi massa dihadapannya, inilah yang disebut dengan konteks. Naluri publiknya harus mampu memahami bahwa situasi kondisi dan psikologi sosial tidak akan stagnan, melainkan akan selalu mengalami perubahan secara dinamik. Pada saat yang sama, seorang guru juga harus belajar dari pengalaman para gurunya. Seorang pimpinan juga harus belajar sejarah kepeminpinan dari pimpinan sebelumnya.

Dalam hal demikian, ada salah satu kisah Waliyulloh Agung dari Pasuruan yang patut kita teladani yakni Almaghfurlah Mbah Kiai Abdul Hamid. Salah satu keteladanan beliau yang penting kita kembangkan adalah tentang bagaimana seharusnya seorang guru atau pimpinan ketika menghadapi perilaku murid atau anggota yang tidak sesuai dengan harapannya.

Pada suatu hari, di sekitar tahun 1960-an, salah seorang santri Mbah Kyai Hamid yang menjadi pimpinan GP Ansor Cabang Pasuruan nyaris putus asa dalam mengelola program kaderisasi bagi pimpinan anak cabang dan ranting-ranting Ansor. Pasalnya, dari 100 lulusan pelatihan yang dilaksanakan, paling hanya ada 3-5 orang kader saja yg betul-betul bisa diandalkan. Dalam kegalauannya ini, si santri memutuskan sowan pada Kiai Hamid untuk konsultasi dan meminta wejangan sang kyai.

Pada saat dia sowan, sembari menunjuk pada pohon-pohon kelapa yang berbanjar di pekarangan ndalem (rumah), Kiai Hamid berkata panjang lebar. Dawuh beliau “Aku menanam pohon ini, yang aku butuhkan itu buah kelapanya. Ternyata yang keluar pertama kali malah blarak, bukan kelapa. Setelah itu glugu, baru setelah beberapa waktu keluar mancung. Mancung pecah, nongol manggar, yang (sebagian rontok lalu sisanya) kemudian jadi bluluk, terus (banyak yang 二元期权平台 rontok juga dan sisanya) jadi cengkir, terus (sebagian lagi) jadi degan, baru kemudian jadi kelapa. Lho setelah jadi kelapa pun masih ada saput, batok, kulit tipis (yang semua itu bukan yg saya butuhkan tadi). Lantas, ketika mau diambil santannya, masih harus diparut kemudian diperas. Yang jadi santan tinggal sedikit. Lha itu sunnatulloh. Lha yang 95 orang kader itu, carilah, jadi apa dia. Glugu bisa dipakai untuk perkakas rumah, blarak untuk ketupat.”

Jika keinginan kita mencetak orang ‘alim, tidak bisa diharapkan bahwa semua murid di kelas itu bakal jadi ‘alim semua. Pasti ada seleksi alam, akan ada proses pengerucutan. Meski begitu, bukan berarti pendidikan itu gagal. Katakanlah yang jadi hanya 5 %, akan tetapi yang lain bukan lantas terbuang percuma. Yang lain tetap berguna, tapi untuk fungsi lain, untuk peran lain. Maka, sedari awal disinilah fungsi mediasi dan fungsi pemberdaya dari seorang guru atau pimpinan berperan sangat penting atas keberagaman potensi para murid atau anggota organisasi.

Semoga secuil kisah dan percikan hikmah di atas bermanfaat dan semua Muharrik NU maupun generasi muda NU pada umumnya bisa memetik salah satu keteladanan sebagaimana yang telah diajarkan Mbah Kyai Hamid.

 

Tegal-Ploso, 1 Juni 2017
Mohammad Fatah Masrun
abahfatah78@gmail.com